Sabtu, 27 September 2008

KARAPAN SAPI


KISAH PERTARUNGAN DEMI GELAR SERTA NAMA BESAR

Madura - Madura dikenal karena iklim yang panas, dengan tradisi yang juga keras. Orang Madura berperangai tegas, menjunjung tinggi gaya hidup yang kental dengan sifat kejantanan. Itulah sebabnya kerapan sapi menjadi olah raga yang sangat digemari di Madura. Bagi mereka, sapi jantan adalah salah satu simbol kejantanan.

Seperti inilah suasana latihan karapan sapi di Desa Sanggra Agung, Bangkalan. Mereka tengah bersiap menghadapi lomba adu cepat antar sapi yang akan digelar beberapa hari lagi. Saat-saat sibuk bagi pelatih dan para joki, yang mengendalikan kereta pacu. Sementara Haji Tohir, sang pemilik, juga selalu hadir mengawasi sapi-sapi jagoannya berlatih.
Saat latihan, kondisi arena dibuat mirip dengan arena sesungguhnya, bahkan hingga tingkat kemiringannya. Kereta maupun jokinya, juga sama dengan yang digunakan saat pertandingan. Termasuk cambuk berpaku, yang digunakan sang joki untuk memacu kecepatan lari sapi-sapinya.

Bicara karapan sapi, memang tak bisa lepas dari peran joki. Karena ia-lah yang mengarahkan lari hewan-hewan jantan ini. Sebagai joki, ia harus berani mengendalikan laju kereta yang kencang. Ia juga harus gesit memegang kendali serta memacu laju sapi-sapi karapannya, sejak awal garis start. Ketrampilan menapakkan dan menyelipkan kaki diantara kayu yang ditarik oleh sapi sangat menentukan keselamatan. Bila tidak waspada, bisa fatal akibatnya.

Ketrampilan lain yang harus dimiliki, adalah kemampuan melepas tali kekang dan melompat meraih kayu lines yang melintang menyatukan dua sapi. Ketrampilan ini sangat diperlukan, karena bila tidak, sapi yang sudah mencapai garis akhir, akan tetap lari dengan liar. Sehingga bisa membahayakan siapapun yang berada di depan sapi yang tengah melaju kencang tersebut.
Tak mudah menaklukkan kegarangan sapi kerapan. Karenanya seorang joki kerapan sapi, mestilah orang yang berani dan cekatan. Menjadikan profesi joki, sebagai sebuah kebanggaan tersendiri. Tak jarang, para joki ini juga menjadi bintang lapangan saat kemenangan diraih.

Yang Dirawat Istimewa
Biaya untuk mengikuti sebuah karapan sapi, sebetulnya tidak sedikit. Kalau dihitung, jauh melebihi hadiah yang diberikan. Tapi bagi Haji Tohir, dan pemilik sapi kerapan pada umumnya, besarnya biaya bukan persoalan. Yang mereka risaukan justru bila sapi-sapi itu kalah berulangkali. Harga jual sapi kerapan bisa mencapai lebih dari seratus juta rupiah. Apalagi kalau sapi itu adalah sapi juara. Harga jualnya bisa melonjak berpuluh kali lipat dari harga awal. Tak heran, bila sapi-sapi karapan mendapat perawatan istimewa.

Sebulan sebelum sebuah kerapan sapi dimulai, pemilik sapi harus mengeluarkan uang minimal delapan juta rupiah untuk seekor sapi. Padahal, pemilik sapi minimal menyertakan dua ekor dalam suatu karapan. Selain untuk pendaftaran yang biayanya antara satu juta sampai dua juta rupiah, dana itu juga digunakan untuk perawatan. 

Layaknya olahragawan profesional, sang sapi diberi makanan istimewa. Rumput pilihan beserta jamu yang dicampur dengan seratusan butir telur ayam kampung. Tapi itu saja belum cukup. Sekitar jam sembilan malam, sang sapi akan dibuatkan jamu oleh perawat sapi. Perawat ini biasanya merangkap juga menjadi joki dari sapi yang mereka asuh. Konon, agar joki dan sapi saling mengenal, hingga ketika di lapangan, sapi akan lebih mudah dikendalikan.

Perawatan lainnya yang perlu dilakukan, adalah memandikan dan memijat sapi-sapi tersebut. Malam hari, setelah dimandikan dengan air dingin, perawat sapi akan membilasnya dengan air panas. Perlakuan ini, untuk membuat nyaman sapi yang akan diistirahatkan. Menjelang tidur, sapi-sapi kerapan ini masih dimanjakan dengan pijatan, agar otot-ototnya tidak tegang, apalagi menjelang pertandingan. 

Perawatan sapi kerap, sebutan untuk sapi jantan yang khusus untuk kerapan sapi, sebenarnya bukan hanya dilakukan pada saat menjelang pertandingan. Hal ini berlangsung tiap hari, selama sapi itu masih akan diadu dalam kerapan. Biaya untuk pemeliharaan harian, juga tidak kalah banyak dengan biaya menjelang kerapan. 
Untuk satu ekor sapi, Pak Tohir bisa menghabiskan sekitar 3 setengah juta rupiah, termasuk buat membayar satu orang perawat bagi setiap ekor sapi. Jika dihitung, untuk 12 ekor atau enam pasang sapi kerapan yang kini dimilikinya, Haji Tohir harus mengeluarkan uang 42 juta rupiah. 

Mungkin bagi sebagian orang, apa yang dilakukan para pemilik sapi kerap seperti Haji Tohir ini terasa mengada-ada. Tapi bagi orang Madura, kerapan sapi bukanlah sekadar permainan. Ada pertaruhan harga diri, ada sebuah bisnis. Yang membuat kerapan sapi bagai mendarah daging dalam kehidupan di Madura.


Pesta Sebuah Gengsi
Biasanya karapan sapi atau pacuan sapi, berlangsung bulan September sampai Oktober, setelah panen tembakau. Saat hari perlombaan tiba, para pemilik sapi pun menyambut, layaknya sebuah pesta. Musik seronen, yang dimainkan oleh sekitar 15 orang ini juga menjadi penambah semangat.

Layaknya pelari cepat, sapi balap yang terlatih, akan mengadu otot mulai dari garis start. Saling mendahului, untuk menjadi yang pertama menginjakkan kaki di garis akhir. Satu kejuaraan biasanya diikuti sekitar 30 pasang sapi. 

Ketigapuluh pasang sapi itu dipacu sepasang demi sepasang untuk mencari limabelas pemenang yang akan masuk dalam babak kedua sebagai pasangan sapi dari golongan yang menang. 

Sedangkan limabelas pasang yang kalah di babak pertama, akan dimasukkan ke dalam kelompok kedua. Kedua kelompok ini akan berlomba lagi untuk mencari juara kelompoknya masing-masing.

Arena karapan sapi pun tak luput dari ajang taruhan. Jumlah taruhannya bervariasi, mulai dari yang kelas seribu rupiahan, bahkan ratusan juta rupiah. Penonton yang berdiri di sepanjang lintasan ini taruhannya relatif kecil, tidak sampai jutaan rupiah. 

Tetapi, para petaruh besar, sebagian besar duduk di podium atau hanya melihat dari tempat kejauhan. Transaksinya pun dilakukan di luar arena, dan biasanya berlangsung pada malam hari sebelum karapan sapi dimulai.

Kepada pemenang, penyelenggara kerapan sapi akan memberikan hadiah misalnya sepeda motor, piala bergilir, trofi, serta sebuah televisi berwarna 21 inci. Namun hadiah tersebut biasanya dilimpahkan si pemilik sapi kepada sang joki yang dinilai telah berjasa memberikan gelar juara. Hadiah, bukan sesuatu yang dicari para pemilik sapi kerap. Tetapi gelar juara, itulah yang lebih penting. 

Dengan menjadi juara, semua biaya yang dikeluarkan untuk persiapan, rasanya terbayar lunas. Selain harga jualnya yang melonjak, mencapai ratusan juta rupiah, sang pemilik pun akan dikenal masyarakat sebagai pemilik sapi andal di Madura. Predikat impian setiap pemilik sapi kerapan. 

Bagi seorang Madura, kerapan sapi bukanlah sekadar tradisi yang meriah. Seolah melalui ajang pacu sapi inilah, mereka membuktikan kemampuannya mencetak para juara. Sebuah tradisi mengadu gengsi. (Ayxs)








Tidak ada komentar: