Senin, 29 September 2008

GALERI SENDANG BIRU

FOTO KUNJUNGAN KE SENDANG BIRU

Keindahan laut Sendang Biru

Potensi Sendang Biru sangat diharapkan selain lautnya yang kaya juga indah alamnya

Minggu, 28 September 2008

NYANYIANKU....

AMBIGUITAS KEBIJAKAN PENDIDIKAN

SESUAI dengan pembukaan UUD 1945, tujuan mendirikan negara adalah, pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keempat, ikut serta menjamin perdamaian dunia yang adil dan berperadaban.

Pembukaan UUD 1945 yang mencerminkan tujuan eksistensi negara tidak bicara target atau utopia, melainkan tentang nilai-nilai ideal yang diperjuangkan sebagai tujuan mendirikan sebuah negara merdeka-berdaulat.

Secara praksis, pada dasarnya republik ini adalah negara untuk rakyat. Negara harus melindungi segenap lapisan masyarakat. Kekuasaan negara harus benar-benar di tangan rakyat melalui lembaga perwakilan yang berorientasi untuk rakyat dan melindungi rakyat. Sehingga negara memiliki visi lebih demokratis, lebih digantungkan pada supremasi hukum dan penghargaan HAM.

Tapi sial, sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 hingga sekarang, cita–cita ideal di atas belum banyak terealisasi. Sebagian besar lapisan masyarakat masih kurang merasakan kebijakan negara yang benar-benar bijak. Diantaranya adalah soal UU Guru dan Dosen yang telah disahkan pada tanggal 6 Desember lalu. Peningkatan kesejahteraan yang dijanjikan negara terhadap para guru dan dosen ternyata masih buram. Penghapusan Pasal 14 ayat 2, ketika berupa rancangan, yang menyatakan gaji guru dan dosen minimal 2 kali gaji PNS non-guru dan tunjangan profesi keguruan 50% dari gaji pokok, ternyata harus dihapus karena bertentangan dengan Pasal 5 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam UU No. 10/2004 itu dikatakan bahwa tiap produk UU harus memenuhi asas dapat dilaksanakan, sementara keuangan negara (APBN) cukup terbatas.

Tuntutan kenaikan gaji guru, sebenarnya adalah masalah klasik dunia pendidikan Indonesia yang hingga kini belum terselesaikan. Tuntutan ini, menurut Darmaningtyas, anggota dewan penasehat CBE Jakarta dalam tulisannya Kesejahteraan Guru, Masalah Klasik Pendidikan Kita, karena gaji guru Indonesia memang rendah. Ukurannya adalah, pertama, bila dibandingkan dengan kesejahteraan guru di negara-negara lain, termasuk tetangga Malaysia. Kedua, bila dibandingkan dengan alokasi waktu yang dicurahkan oleh guru dan beban tanggung jawab yang mereka pikul. Ketiga, bila dibandingkan dengan nilai tukar uang atas kebutuhan hidup sehari-hari seorang guru.

Kenyataan pahit di atas, tampak akan terus bertambah. Karena janji kesejahteraan akan terealisir (meski masih buram) jika para guru telah memiliki sertifikasi profesi mengajar. Sementara sertifikasi bisa didapatkan bila para guru telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan lulus dalam uji kompetensi. Bertolak dari rumitnya memperoleh kesejahteraan ini, wajar jika ada yang menyebut sebagai UU sertifikasi guru.

Memang, tahapan sertifikasi itu merupakan wujud perhatian pemerintah untuk menjadikan guru dan dosen profesional, agar bisa lebih meningkatkan mutu pendidikan yang selama ini banyak dikeluhkan. Hal ini seperti harapan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla (Wapres MJK) ketika menghadiri peringatan Hari Guru Nasional sekaligus ulang tahun PGRI dan Hari Aksara Internasional di Solo, Jawa Tengah, Nopember lalu. Dalam sambutannya, Wapres berharap, bahwa kualitas guru harus baik. Karena guru merupakan pembentuk jiwa sekaligus motivator semangat bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Tapi persoalannya, jika dalam proses pelaksanaan sertifikasi profesi tidak transparan dan akuntabel, maka praktik percaloan yang selama ini akrab di Indonesia tidak mustahil akan terjadi.

Selain itu, perlu ada standar khusus yang benar-benar bisa mengukur kemampuan riil seorang guru, agar tidak sekedar formalisasi belaka. Misalkan, pertama, seorang guru harus terampil berkomunikasi, mampu menterjemaahkan teori-teori yang sulit dicerna menjadi lugas dan mudah dipahami. Kedua, jujur dalam menyelenggarakan ujian dan pemberian nilai. Ketiga, menjadi motivator bagi siswa untuk menjadi kritis, dan lainnya.

Lebih jauh, peningkatan mutu pendidikan melalui tuntutan profesionalitas guru tampak akan timpang bila tidak diirigi dengan elemen-elemen pendidikan lainnya, seperti kurikulum yang jelas (tidak bongkar-pasang); sarana penunjang berupa perpustakaan yang lengkap dengan buku, majalah dan referensi lain; serta sarana penunjang lainnya.

Tapi ironisnya, beberapa elemen yang turut menunjang peningkatan mutu pendidikan ini terganjal dengan tidak terealisasinya amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) yang menegaskan bahwa, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Sejauh ini, realisasi dana pendidikan masih berkisar 7% dari total anggaran APBN dan APBD (Penjelasan Pasal 49 (1) UU Sisdiknas). Padahal angka 7% menurut praktisi pendidikan tidak banyak menjawab kebutuhan dunia pendidikan.

Bertolak dari hal di atas, tampak demokrasi dalam dunia pendidikan masih belum sepenuhnya terealisasi. Guru yang nota bene merupakan bagian dari bangsa Indonesia, suaranya masih didengar setengah hati. Jika demikian, mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk?

Sabtu, 27 September 2008

KARAPAN SAPI


KISAH PERTARUNGAN DEMI GELAR SERTA NAMA BESAR

Madura - Madura dikenal karena iklim yang panas, dengan tradisi yang juga keras. Orang Madura berperangai tegas, menjunjung tinggi gaya hidup yang kental dengan sifat kejantanan. Itulah sebabnya kerapan sapi menjadi olah raga yang sangat digemari di Madura. Bagi mereka, sapi jantan adalah salah satu simbol kejantanan.

Seperti inilah suasana latihan karapan sapi di Desa Sanggra Agung, Bangkalan. Mereka tengah bersiap menghadapi lomba adu cepat antar sapi yang akan digelar beberapa hari lagi. Saat-saat sibuk bagi pelatih dan para joki, yang mengendalikan kereta pacu. Sementara Haji Tohir, sang pemilik, juga selalu hadir mengawasi sapi-sapi jagoannya berlatih.
Saat latihan, kondisi arena dibuat mirip dengan arena sesungguhnya, bahkan hingga tingkat kemiringannya. Kereta maupun jokinya, juga sama dengan yang digunakan saat pertandingan. Termasuk cambuk berpaku, yang digunakan sang joki untuk memacu kecepatan lari sapi-sapinya.

Bicara karapan sapi, memang tak bisa lepas dari peran joki. Karena ia-lah yang mengarahkan lari hewan-hewan jantan ini. Sebagai joki, ia harus berani mengendalikan laju kereta yang kencang. Ia juga harus gesit memegang kendali serta memacu laju sapi-sapi karapannya, sejak awal garis start. Ketrampilan menapakkan dan menyelipkan kaki diantara kayu yang ditarik oleh sapi sangat menentukan keselamatan. Bila tidak waspada, bisa fatal akibatnya.

Ketrampilan lain yang harus dimiliki, adalah kemampuan melepas tali kekang dan melompat meraih kayu lines yang melintang menyatukan dua sapi. Ketrampilan ini sangat diperlukan, karena bila tidak, sapi yang sudah mencapai garis akhir, akan tetap lari dengan liar. Sehingga bisa membahayakan siapapun yang berada di depan sapi yang tengah melaju kencang tersebut.
Tak mudah menaklukkan kegarangan sapi kerapan. Karenanya seorang joki kerapan sapi, mestilah orang yang berani dan cekatan. Menjadikan profesi joki, sebagai sebuah kebanggaan tersendiri. Tak jarang, para joki ini juga menjadi bintang lapangan saat kemenangan diraih.

Yang Dirawat Istimewa
Biaya untuk mengikuti sebuah karapan sapi, sebetulnya tidak sedikit. Kalau dihitung, jauh melebihi hadiah yang diberikan. Tapi bagi Haji Tohir, dan pemilik sapi kerapan pada umumnya, besarnya biaya bukan persoalan. Yang mereka risaukan justru bila sapi-sapi itu kalah berulangkali. Harga jual sapi kerapan bisa mencapai lebih dari seratus juta rupiah. Apalagi kalau sapi itu adalah sapi juara. Harga jualnya bisa melonjak berpuluh kali lipat dari harga awal. Tak heran, bila sapi-sapi karapan mendapat perawatan istimewa.

Sebulan sebelum sebuah kerapan sapi dimulai, pemilik sapi harus mengeluarkan uang minimal delapan juta rupiah untuk seekor sapi. Padahal, pemilik sapi minimal menyertakan dua ekor dalam suatu karapan. Selain untuk pendaftaran yang biayanya antara satu juta sampai dua juta rupiah, dana itu juga digunakan untuk perawatan. 

Layaknya olahragawan profesional, sang sapi diberi makanan istimewa. Rumput pilihan beserta jamu yang dicampur dengan seratusan butir telur ayam kampung. Tapi itu saja belum cukup. Sekitar jam sembilan malam, sang sapi akan dibuatkan jamu oleh perawat sapi. Perawat ini biasanya merangkap juga menjadi joki dari sapi yang mereka asuh. Konon, agar joki dan sapi saling mengenal, hingga ketika di lapangan, sapi akan lebih mudah dikendalikan.

Perawatan lainnya yang perlu dilakukan, adalah memandikan dan memijat sapi-sapi tersebut. Malam hari, setelah dimandikan dengan air dingin, perawat sapi akan membilasnya dengan air panas. Perlakuan ini, untuk membuat nyaman sapi yang akan diistirahatkan. Menjelang tidur, sapi-sapi kerapan ini masih dimanjakan dengan pijatan, agar otot-ototnya tidak tegang, apalagi menjelang pertandingan. 

Perawatan sapi kerap, sebutan untuk sapi jantan yang khusus untuk kerapan sapi, sebenarnya bukan hanya dilakukan pada saat menjelang pertandingan. Hal ini berlangsung tiap hari, selama sapi itu masih akan diadu dalam kerapan. Biaya untuk pemeliharaan harian, juga tidak kalah banyak dengan biaya menjelang kerapan. 
Untuk satu ekor sapi, Pak Tohir bisa menghabiskan sekitar 3 setengah juta rupiah, termasuk buat membayar satu orang perawat bagi setiap ekor sapi. Jika dihitung, untuk 12 ekor atau enam pasang sapi kerapan yang kini dimilikinya, Haji Tohir harus mengeluarkan uang 42 juta rupiah. 

Mungkin bagi sebagian orang, apa yang dilakukan para pemilik sapi kerap seperti Haji Tohir ini terasa mengada-ada. Tapi bagi orang Madura, kerapan sapi bukanlah sekadar permainan. Ada pertaruhan harga diri, ada sebuah bisnis. Yang membuat kerapan sapi bagai mendarah daging dalam kehidupan di Madura.


Pesta Sebuah Gengsi
Biasanya karapan sapi atau pacuan sapi, berlangsung bulan September sampai Oktober, setelah panen tembakau. Saat hari perlombaan tiba, para pemilik sapi pun menyambut, layaknya sebuah pesta. Musik seronen, yang dimainkan oleh sekitar 15 orang ini juga menjadi penambah semangat.

Layaknya pelari cepat, sapi balap yang terlatih, akan mengadu otot mulai dari garis start. Saling mendahului, untuk menjadi yang pertama menginjakkan kaki di garis akhir. Satu kejuaraan biasanya diikuti sekitar 30 pasang sapi. 

Ketigapuluh pasang sapi itu dipacu sepasang demi sepasang untuk mencari limabelas pemenang yang akan masuk dalam babak kedua sebagai pasangan sapi dari golongan yang menang. 

Sedangkan limabelas pasang yang kalah di babak pertama, akan dimasukkan ke dalam kelompok kedua. Kedua kelompok ini akan berlomba lagi untuk mencari juara kelompoknya masing-masing.

Arena karapan sapi pun tak luput dari ajang taruhan. Jumlah taruhannya bervariasi, mulai dari yang kelas seribu rupiahan, bahkan ratusan juta rupiah. Penonton yang berdiri di sepanjang lintasan ini taruhannya relatif kecil, tidak sampai jutaan rupiah. 

Tetapi, para petaruh besar, sebagian besar duduk di podium atau hanya melihat dari tempat kejauhan. Transaksinya pun dilakukan di luar arena, dan biasanya berlangsung pada malam hari sebelum karapan sapi dimulai.

Kepada pemenang, penyelenggara kerapan sapi akan memberikan hadiah misalnya sepeda motor, piala bergilir, trofi, serta sebuah televisi berwarna 21 inci. Namun hadiah tersebut biasanya dilimpahkan si pemilik sapi kepada sang joki yang dinilai telah berjasa memberikan gelar juara. Hadiah, bukan sesuatu yang dicari para pemilik sapi kerap. Tetapi gelar juara, itulah yang lebih penting. 

Dengan menjadi juara, semua biaya yang dikeluarkan untuk persiapan, rasanya terbayar lunas. Selain harga jualnya yang melonjak, mencapai ratusan juta rupiah, sang pemilik pun akan dikenal masyarakat sebagai pemilik sapi andal di Madura. Predikat impian setiap pemilik sapi kerapan. 

Bagi seorang Madura, kerapan sapi bukanlah sekadar tradisi yang meriah. Seolah melalui ajang pacu sapi inilah, mereka membuktikan kemampuannya mencetak para juara. Sebuah tradisi mengadu gengsi. (Ayxs)